In

Nyoba Masuk Mall di Jakarta Pas Perpanjangan PPKM Level 3

Sudah banyak yang ‘menjerit’ karena pendapatannya ‘terhimpit’ sejak virus Covid-19 masuk Indonesia. Mulai dari abang-abang Starling (Starbak Keliling), hingga mereka yang memiliki gerai di Mall. Presiden Joko Widodo juga sudah mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 di Jawa dan Bali mulai 31 Agustus – 6 September 2021. Setelah sekian lama masyarakat dibatasi peredarannya, ada rasa penasaran gimana sih kondisi jalanan dan mall saat PPKM ini?.

Kebetulan saya berkesempatan pergi ke pusat kota Jakarta, untuk tes swab antigen rutin di salah satu Rumah Sakit Swasta di area Semanggi. Hanya dengan berjalan kaki sekitar 500 meter, sampailah saya di Plaza Semanggi tempat hangout paling hitz di masanya. Sepanjang jalan sudah banyak pedagang menawarkan makanan, namun sayang minim pembeli. Menapaki jalanan trotoar ketika PPKM ini memang berbeda dengan biasanya. Sepi. Satu-satunya kesan yang saya rasakan.

Satu per satu menaiki tangga samping mall, saya membayangkan betapa dulu sebelum pandemi banyak abang-abang ojek online menunggu pelanggannya di tangga itu. Tapi sekarang tak terlihat lagi. Hingga sampailah saya di pintu masuk. Di sana ada seorang petugas bertugas mengecek persyaratan pengunjung. Apa saja syaratnya?

1. Harus sudah divaksin. Syarat utamanya HARUS sudah vaksin. Kalau yang belum vaksin, mohon maapmemang tidak diijinkan masuk mall. Jangan ngotot ye, semua untuk kebaikan bersama.

2. Unduh Aplikasi Peduli Lindungi (https://pedulilindungi.id). Punya aplikasi Peduli Lindungi, adalah wajib selanjutnya. Mending sudah install dari rumah, jadi ketika akan masuk tinggal scan barcode yang ada di pintu masuk mall. Aplikasi ini sekaligus sebagai penghitung digital, kamu adalah pengunjung ke berapa yang masuk mall itu.

3.  Anak di bawah usia 12 tahun tidak boleh masuk. Anak-anak lebih baik di rumah aja.

4.  Kapasitas pengunjung 50%. Tujuannya supaya aktivitas kita di dalam mall berjarak.  

Ketika melangkah masuk mall, ada thermal detector yang mengukur suhu tubuh kita. Jadi meskipun di screening awal lolos, tapi suhu tubuh di atas 37,5 derajad celcius tentu kita harus melangkah mundur keluar lagi. Bersyukurnya saya lolos di dua screening itu. Sudah vaksin dan suhu tubuh juga normal. Justru yang membuat kaget adalah kondisi di dalam mall. Sepi. Banyak toko tutup, hanya ada beberapa saja yang buka. Saya berkeliling melihat-lihat, tidak banyak pengunjung. Menaiki escalator selantai demi selantai, tibalah akhirnya di lantai paling atas bagian foodcourt. Kondisinya sedikit berbeda karena banyak gerai makanan buka. Sayang seribu sayang, pengunjung pun tak jua datang. Sepi!. 

Saya memilih salah satu meja, duduk dan memesan seporsi Bakso. Hingga sekitar satu jam saya menghabiskan makanan, hanya segelintir pengunjung yang datang untuk makan siang. Di gerai khusus minuman, saya bertanya kepada Bella seorang pelayan yang bekerja. “Mall nya jadi sepi ya mbak? Kaya gini tiap hari?”. “Iya sepi sejak pandemi kak. Nggak tahu kapan lagi bisa ramai seperti dulu”. “Mbaknya kerja sejak PPKM level 3 ini?”. “Nggak kak, sejak PPKM level 4 juga buka, tapi nggak bisa dine in”. Dia juga cerita kalau bersyukur karena masih memiliki pekerjaan, karena banyak rekan-rekannya diberhentikan karena sepinya pengunjung.

Semoga pandemi lekas berakhir, supaya roda perekonomian mampu bergeliat lagi. Eh tapi, sudah pada divaksin kan? Biar bisa meramaikan dagangan abang-abang starling lagi, bantu mbak Bella mbak Bella yang lain bertahan hidup juga…


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Dianggap Miskin karena Bergaya Hidup Zero Waste

Sejak PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) ber-level-level ini, hampir semua orang full di rumah. Pekerjaan atau sekolah semuanya dari rumah. Banyak diantara kita yang akhirnya killing time dengan merawat tanaman, menjahit, bersepeda, baking, memasak, dan masih banyak lagi. Bekerja dari rumah, memaksa kita untuk lebih kreatif supaya tidak bosan. Bagaimana tidak, jika dulu kita berangkat bekerja ke kantor membutuhkan waktu untuk bermacet-macetan, atau bergencet-gencetan di Commuter Line saat ini tidak lagi. Ketika pagi menjelang kita sudah disibukkan dengan online meeting, mengurus sekolah anak yang juga online. Semua itu kita lakukan DI RUMAH SAJA. 

 

Waktu yang kita habiskan di rumah menjadi lebih banyak, menggantikan waktu berjam-jam untuk perjalanan pergi-pulang kantor atau pergi-pulang sekolah. Belum lagi jika pendapatan juga mulai berkurang, ini mendorong kreativitas untuk mencari sumber penghasilan yang lain. Salah seorang teman di masa PPKM ini bercerita jika dia mulai menerapkan gaya hidup Zero Waste (bebas sampah). Istilah ini sudah tidak asing untuk saya. Pernah beberapa kali membaca ulasannya dan berusaha untuk menerapkan juga, meskipun belum total. 

 

Di awal, dia sangat antusias bercerita tentang memilah sampah, pentingnya membawa kantong ketika berbelanja, mengurangi sampah kertas dan plastik, membawa bekal makanan sendiri, melakukan daur ulang, dan membuat kompos untuk sampah organik rumah tangga. Sepintas tidak ada yang baru, semua informasi itu sudah saya tahu. Namun ada yang menggelitik ketika dia bercerita soal pengolahan makanan ‘sampah’. “What? Sampah apaan nih?”. “Yo, kulit Pisang, kulit Semangka, kulit Wortel, kulit Singkong, bonggol Brokoli, akeh” jawabnya. “kui dipangan?” (itu dimakan?). “Iyo” jawabnya dengan santai. Masih belum percaya dengan yang ku dengar, dia menambahkan kalau ada tetangganya yang mengerti kebiasaan barunya mengolah makanan dari ‘sampah’ rumah tangga ini. Si tetangga lantas merasa kasihan dan mengirimi teman saya ini berbagai macam sayur dari ladangnya. “Tibakno aku dikiro mlarat” (ternyata aku dikira miskin) sambil tertawa dia mengakhiri ceritanya. Saya tidak kaget tetangga teman saya mengira demikian, karena dia tinggal di Kota Batu yang berbatasan dengan Kota Malang di Jawa Timur yang daerahnya sangat subur dengan komoditas pertanian buah dan sayur. 

 

Setelah menutup telepon, saya masih penasaran dengan yang dia ceritakan. Mengolah makanan dari ‘sampah’ rumah tangga?. Jari saya tidak sabar mencari sumber informasi lain  tentang Zero Waste, dan berhenti pada artikel berjudul Root to leaf and seed to skin, Cut waste and boost flavor with recipes that use the whole vegetable yang ditulis oleh Joe Yonan seorang Editor rubrik Food and Dining dari The Washington Post. Artikel tersebut menyampaikan pentingnya mengurangi limbah makanan, karena akan mengurangi emisi gas rumah kaca, memperlambat perusakan alam melalui konversi lahan dan polusi, meningkatkan ketersediaan makanan, mengurangi kelaparan, dan menghemat uang pada saat resesi global.

 

Semakin menarik, lalu gimana caranya? Yonan memberi tips tentang strategi mengurangi limbah makanan di rumah. Pertama, merencanakan menu yang akan dimasak sebelum berbelanja. Kedua, menyimpan makanan dengan benar untuk mencegah pembusukan. Awalnya ketika memasak, dia mengibaratkan seperti ada garis pemisah antara buah atau sayur yang akan dimakan dan bagian yang tidak dimakan atau disebut sampah (misalnya: kulit, batang, bijinya, atau daunnya). Garis itu cukup jelas, karena pilihannya adalah bagian yang bisa dimakan dan tidak bisa dimakan. Namun kemudian dia mulai memikirkan, bagaimana cara mengolah bagian ‘sampah’ ini supaya tetap bisa dimakan, sehingga garis pemisah itu semakin lama semakin kabur. Bagian sayur atau buah yang kita buang baik kulit atau bijinya, memiliki manfaat yang sama-sama besar untuk tubuh. Misalnya Wortel, kulitnya menyimpan cukup banyak nutrisi. Jika hanya menjadikan kulit Wortel untuk kompos, maka tidak akan mendapatkan manfaatnya bagi tubuh. 

 

Selain memperoleh manfaat untuk tubuh, mengolah makanan ‘sampah’ tampaknya juga sudah menjadi gaya hidup. Sebut saja Linda Ly penulis buku The No-Waste Vegetable Cookbook, dia membukukan resep makanan dan teknik mengolah makanan dari keseluruhan tanaman. Di Indonesia, kita mengenal Suzy Hutomo CEO The Body Shop Indonesia yang sangat aktif pada persoalan lingkungan sekaligus menjalankan sustainability food. Gimana? Kamu tertarik mencoba?. (Eln)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

"Cerita Fatmawati" Mendistraksi Disertasiku!

Sore ini sebetulnya saya bermaksud menulis lanjutan proposal Disertasi yang masih butuh perbaikan disana-sini. Kebiasaan memang, jika akan bekerja serius harus sambil putar lagu. Awalnya tidak ada yang terdengar unfamiliar dari deretan list musik Jazz Indonesia di Spotify. Hingga akhirnya telingaku agak paying attention more pada salah satu lagu yang liriknya agak aneh. Hmmm…. Ya terdengar sedikit aneh menelaah maksud dari lirik lagunya. Awalnya ku pikir memang telinga dan otakku yang salah menagkap pesan, tapi lama-lama perhatianku jadi terusik sama si lirik lagu.

Inih lagu kok liriknya AKU DILAMAR BAPAKKU??. Salah kali ya….. karena penasaran, akhirnya jariku mengarahkan kursor ke halaman Spotify. Tahukah kamu, ternyata telingaku tidak salah mengirimkan pesan ke otak. Judul lagu itu betul-betul AKU DILAMAR BAPAKKU. Mataku melotot, membelalak… apa-apaan ini lagu liriknya begini. Tak sabarlah diriku mengetahui sebetulnya apa isinya. Ku buka halaman Google dari Safari, dan muncullah deretan berita dan informasi tentang lagu ini.

Well, setelah baca sana sini ternyata lagu ini bercerita tentang ibu Fatmawati. Judul albumnya Cerita Fatmawati, yang diproduksi oleh MusiCarter Indonesia. Album ini menceritakan romantika ibu Fatmawati dan pergumulan cintanya dengan Ir. Soekarno. Hatiku meleleh… tapi bolehlah saya berkomentar tentang album musik ini.

Dilihat dari sisi musik, album ini terlihat digarap dengan sangat serius. Melodinya cantik dan romantis, perpaduan Jazz, Blues, dan sedikit Pop. Cerita yang dituangkan dalam lirik juga bermakna dalam, ini bukti kalau mereka melakukan riset mendalam tentang perjalanan cinta keduanya. Perasaan Bung Karno kepada Ibu Fatmawati, ataupun sebaliknya dinarasikan dengan detil dan lembut. Bagaimana perasaan Ibu Fatmawati terhadap Ibu Inggit – Istri pertama Bung Karno - ketika sang Proklamator tersebut melamarnya.

Banyak artikel yang menyebutkan, diluncurkannya album ini merupakan alternatif pembelajaran sejarah melalui lagu. Jika dilihat dari sudut pandang sejarah, ini sudut pandang sejarah yang segmented. Harus ada batasan, mulai usia berapa bisa menikmati lagu ini. Menurut pandangan pribadi saya, lirik dalam lagu-lagu di album Cerita Fatmawati ini adalah cerita Dewasa yang belum bisa “dikonsumsi” anak atau remaja awal.

History anak angkat yang dinikahi ayah angkatnya rasanya bukanlah cerita yang bijak untuk disebar luaskan tanpa batasan yang jelas. Hal itu akan menjadi pembenaran untuk khalayak, bahwa apa yang dilakukan pada koridor yang benar. Isu ini mengingatkan saya dengan Teori Dampak Orang Ketiga (Third Person Effect) yang digagas oleh Davison. Teori ini awalnya berbicara tentang dampak media, tapi kemudian berkembang dan dipakai untuk area lain -seperti dalam opini publik. Secara umum, teori ini mengatakan ada persepsi yang berbeda mengenai dampak media antara diri sendiri dengan orang lain. Orang mempersepsikan bahwa isi media mempunyai dampak pada orang lain, dan bukan pada diri sendiri.

Media memiliki andil besar pada terbentuknya opini publik. Konten media yang mempengaruhi bisa apa saja, kali ini kita membahas lirik dari sebuah album musik Indi. Saya merasa tidak terpengaruh dengan lirik lagu ini, namun saya meyakini hal ini akan dapat mempengaruhi remaja yang sedang mencari jati dirinya. Pada penggalan lagu berjudul Aku dilamar Bapakku, liriknya seperti berikut ini:
Bapak angkatku pujaanku
Katanya mau meminangku
Bapak angkatku dambaanku
Ceraikan ibu hanya untukku

Ketika menikmati musik, orang akan membayangkan cerita dalam lagu tersebut real, bukan konstruksi, dan tidak ada distraksi. Namun kenyataanya sebaliknya, lagu penuh dengan konstruksi dari si pencipta lagu.

Untuk saya sebagai pribadi, saya sangat menikmati lagu ini dengan lirik-liriknya yang berani dan sedikit “nakal”. Terkadang cinta memang harus diperjuangkan, tak peduli betapa perih dan sakitnya. Tidak ada dosa atau karma, yang ada adalah waktu kita untuk merasakan sakit di suatu ketika… lagu ini betul-betul representasi Indie Musik yang sesungguhnya. Bebas tanpa batas…. ^_^b

----------------------------------- waktunya menulis Disertasi lagi---------------------------------------------


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Yuk Diet Media!


Ketika jalan-jalan di public sphere (misalnya: alun-alun, hutan kota, mall), banyak remaja menundukan kepala, serius pada alat yang ada di genggamannya, dan telinganya disumbat oleh seutas kabel panjang. Gadget! Itu sebutan untuk alat komunikasi multi-fungsi, yang salah satu bentuknya adalah smartphone. Saat ini banyak remaja yang seakan sudah tidak peduli dengan lingkungan sekitar, karena dunia baru bernama mobile media yang ada dalam smartphone.

Kerisauan saya berawal saat berkunjung ke salah satu daerah di selatan Kabupaten Malang. Disana hampir setiap anak usia Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP), memiliki gadget berupa smartphone. Ini baru di daerah. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia pada umumnya? Jawabannya lebih fantastis. Pengguna smartphone di Indonesia, mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2014 ke 2016. Pada tahun 2014, pengguna smartphone di Indonesia berjumlah 38,3 juta. Tahun 2016 ini, sudah berada di angka 69,4 juta pengguna, (Koran.tempo.co). Artinya, sebagian besar masyarakat kita saat ini sudah menjadi pengguna mobile media aktif. Mobile media adalah aplikasi media yang berada dalam mobile phone (baca: smartphone).

Tahukah anda, bahwa akses manusia terhadap media memiliki batas?. Lalu, jenis media apa yang dimaksud?. Hampir semua media elektronik memiliki dampak negatif bagi penggunanya. Baik itu televisi, radio, surat kabar, internet, dan lain-lain. Saat ini penggunaan media, seakan sudah menyatu dengan aktivitas sehari-hari masyarakat.  Remaja merupakan golongan usia yang memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengakses media. Mengapa demikian?. Anak-anak yang kini beranjak remaja, lahir pada retang tahun 1998 hingga 2000-an. Di tahun tersebut, peralihan teknologi dari analog ke digital terjadi. Dengan demikian, anak-anak ini tumbuh saat kondisi teknologi telah beralih ke digital. Anak-anak yang tidak melalui masa analog ini, disebut dengan digital native.  Mereka yang terlahir sebagai digital native, dapat dengan mudah melakukan segala aktifitas dengan media digital.

Ketika banyak remaja “menunduk” dan tidak bisa melepas gadget dari tangan mereka, peran orangtua seakan tergantikan dengan gadget. Remaja yang dalam sehari menggunakan gadget lebih dari dua jam, mengindikasikan bahwa remaja tersebut sudah dalam taraf addict (kecanduan). Pada kondisi ini, orangtua harus melakukan kontrol atas penggunaan gadget anak-anaknya. Hal ini harus betul-betul diperhatikan oleh para orangtua, karena efek negatif yang ditimbulkan. Sebuah penelitian dari Ramadhan (2015) meyebutkan, bahwa remaja yang kecanduan selfie (berfoto sendiri) terbukti memiliki kelainan psikis. Seorang remaja yang menjadi informan penelitian tersebut mengaku, mereka sulit bersosialisasi pada lingkungan nyata dan ingin terlihat trendi dan eksis di media sosial. Bahkan hingga rela berhutang untuk membeli baju model terbaru dan makan di kafe mahal, untuk diunggah di media sosial. Jika kondisi ini terus terjadi, maka masa depan bangsa akan terancam. Generasi muda yang terlena dengan gadget, bisa terjerumus pada gaya hidup hedonis dan memiliki kepekaan rendah terhadap lingkungan sosialnya.
Apa saja tanda-tanda kecanduan gadget?
  1. Anak mulai tidak berminat pada aktivitas lain.
  2. Sehari lebih dari 2 jam menggunakan gadget secara terus menerus.
  3. Terlihat perubahan tingkah laku, misalnya menjadi pemarah.
  4. Moodswing atau suasana hati yang mudah berubah.
  5. Prestasi belajar menurun.
  6. Mulai malas untuk menjaga kebersihan dan kesehatan diri
(Gustiana,2016)

Gerakan literasi media, merupakan harapan ketika banyak remaja kita kecanduan media. Inti dari gerakan ini adalah, mengajak masyarakat untuk lebih cerdas dalam penggunaan media. Kita diharapkan mampu untuk memilih informasi yang kita butuhkan, dan bukan mengakses media hanya untuk keinginan. Orangtua diharapkan dapat mendampingi dan mengkontrol putra-putrinya dalam penggunaan gadget. Membatasi penggunaan gadget, merupakan langkah awal untuk menyelamatkan diri kita sendiri dan anak-anak kita dari bahaya kecanduan media.

Berikut ini adalah diagram yang dapat digunakan orangtua untuk memantau penggunaan gadget pada anak-anak berdasarkan usia anak.
  1. Usia 0-2 tahun tidak diajurkan (berdasarkan rekomendasi APA, American Pediatric Association) karena sinar biru yang terpancar melalui layar sentuh berpengaruh pada perkembangan syaraf mata.
  2. Usia 3-5 tahun, hanya dianjurkan 1 jam perhari untuk hiburan seperti mendengarkan lagu, menari, dan bernyayi. Anak usia dibawah 5 tahun membutuhkan stimulasi untuk perkembangan motoriknya sehingga aktivitas bergerak sangat diajurkan.
  3. Usia 6-12 tahun, waktu untuk beraktivitas dengan gadget 1-2 jam perhari untuk hiburan dan sarana belajar dengan pengawasan orangtua.
  4. Usia 13-18 tahun, remaja sudah dapat diberi kepercayaan untuk menggunakan gadget sehari-hari dengan pengawasan penuh dari orangtua.

Keterlibatan orangtua dalam aktivitas sehari-hari anak sangat dibutuhkan, misalnya orangtua meluangkan waktu 15-45 menit sehari untuk family time. Membuat peraturan penggunaan gadget, untuk orangtua dan anak ketika di rumah. Selain itu, harus ada keterbukaan dalam berkomunikasi dengan anak. Orangtua juga harus terampil menggunakan perangkat digital, misalnya memonitor pertemanan anak di media sosial dengan ikut serta berteman secara virtual. Menjadi orangtua digital, harus mampu menjadi teladan atau role model untuk anak-anaknya tentang keseimbangan penggunaan gadget. Mulailah cerdas bermedia, dan bersama-sama berdiet media!.

Related Link:
https://malangvoice.com/yuk-diet-media/

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

ELLEN: MOM STUDENT FEMINIST



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Saring sebelum Sharing




Hoax menjadi ancaman bagi kita semua. Ketika kebenaran berharga mahal, menyediakan sedikit waktu untuk membaca artikel terlebih dulu, kroscek kebenaran artikel di internet dengan bantuan Google, cek URL, lihat siapa yang menulis, cek di snope.com merupakan hal yang harus mulai dibiasakan.

Be literate digi-society!

Terimakasih mas Eko Widianto, Mas Hari, Mas Rahadi Adnil, Pak Jamroji, AJI Malang, dan Mahasiswa PR Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan komunitas Mediadiet.

#mediadiet #ajimalang #PRUMM

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang bersama mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Praktikum Public Relations 2 (PROPR) menggelar aJi gOes tO School (JOOS) di SMA Muhammadiyah 1 Kota Malang, Senin (5/7/2017).

Kegiatan bertema ‘Cerdas Bermedia Sosial’ ini diikuti 60 peserta, baik dari  SMA Muhammadiyah 1 maupun dari SMA/SMK lain.

Dalam rilis yang diterima SURYAMALANG.COM, ada beragam kegiatan dalam JOOS. Di antaranya ‘Edukasi Mengenai Berita Hoax’ bersama Spesialis Media Online Harian Surya, Adrianus Adhi, ‘Saring Sebelum Sharing’ dengan penggagas Mediadiet, Ellen Meianzi Yasak, S.Ikom., MA.


Related News:
http://www.bengkulunews.co.id/aji-goes-to-school-cerdas-bermedia-sosial
https://www.suara.com/news/2017/06/06/130731/marak-hoax-aji-malang-dorong-literasi-media
http://suryamalang.tribunnews.com/2017/06/05/aji-malang-minta-siswa-di-kota-malang-lebih-bijak-gunakan-media-sosial
https://malangvoice.com/perangi-hoax-aji-malang-dorong-literasi-media-digalakkan/
https://malangtoday.net/malang-raya/kota-malang/yuk-lebih-bijak-tanggapi-berita-hoax-dengan-cara-ini/
https://malang.memo-x.com/28964/deteksi-berita-asli-atau-hoax.html
https://satuchannel.com/kampanyekan-cerdas-bermedsos-aji-malang-adakan-acara-di-sekolah/






Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Wedding Anniversary 5th!


Alhamdulillah… syukur ku selalu tercurah untuk keluarga kecilku. 18 Januari 2016 ini, merupakan ulang tahun ke-5 pernikahan kami.

Segala jenis persoalan, manis-asam-pahit sudah kita rasakan. Kondisi tertekan,  emosional, dan mengharukan juga pernah kita alami. Sekarang, di tahun ke-5 pernikahan ini, saya hanya berharap keluarga kecil saya bisa tetap bahagia. Ya, cukup dengan bahagia. 



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Flickr

Subscribe