Ketika
jalan-jalan di public sphere
(misalnya: alun-alun, hutan kota, mall), banyak remaja menundukan kepala,
serius pada alat yang ada di genggamannya, dan telinganya disumbat oleh seutas
kabel panjang. Gadget! Itu sebutan untuk alat komunikasi multi-fungsi, yang
salah satu bentuknya adalah smartphone.
Saat ini banyak remaja yang seakan sudah tidak peduli dengan lingkungan sekitar,
karena dunia baru bernama mobile media
yang ada dalam smartphone.
Kerisauan
saya berawal saat berkunjung ke salah satu daerah di selatan Kabupaten Malang.
Disana hampir setiap anak usia Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama
(SMP), memiliki gadget berupa smartphone.
Ini baru di daerah. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia pada umumnya?
Jawabannya lebih fantastis. Pengguna smartphone
di Indonesia, mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2014 ke 2016. Pada
tahun 2014, pengguna smartphone di
Indonesia berjumlah 38,3 juta. Tahun 2016 ini, sudah berada di angka 69,4 juta
pengguna, (Koran.tempo.co). Artinya, sebagian besar masyarakat kita saat ini
sudah menjadi pengguna mobile media aktif.
Mobile media adalah aplikasi media
yang berada dalam mobile phone (baca:
smartphone).
Tahukah
anda, bahwa akses manusia terhadap media memiliki batas?. Lalu, jenis media apa
yang dimaksud?. Hampir semua media elektronik memiliki dampak negatif bagi
penggunanya. Baik itu televisi, radio, surat kabar, internet, dan lain-lain.
Saat ini penggunaan media, seakan sudah menyatu dengan aktivitas sehari-hari
masyarakat. Remaja merupakan golongan
usia yang memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengakses media. Mengapa
demikian?. Anak-anak yang kini beranjak remaja, lahir pada retang tahun 1998
hingga 2000-an. Di tahun tersebut, peralihan teknologi dari analog ke digital
terjadi. Dengan demikian, anak-anak ini tumbuh saat kondisi teknologi telah
beralih ke digital. Anak-anak yang tidak melalui masa analog ini, disebut
dengan digital native. Mereka yang terlahir sebagai digital native, dapat dengan mudah melakukan
segala aktifitas dengan media digital.
Ketika
banyak remaja “menunduk” dan tidak bisa melepas gadget dari tangan mereka,
peran orangtua seakan tergantikan dengan gadget. Remaja yang dalam sehari
menggunakan gadget lebih dari dua jam, mengindikasikan bahwa remaja tersebut
sudah dalam taraf addict (kecanduan).
Pada kondisi ini, orangtua harus melakukan kontrol atas penggunaan gadget
anak-anaknya. Hal ini harus betul-betul diperhatikan oleh para orangtua, karena
efek negatif yang ditimbulkan. Sebuah penelitian dari Ramadhan (2015)
meyebutkan, bahwa remaja yang kecanduan selfie (berfoto sendiri) terbukti
memiliki kelainan psikis. Seorang remaja yang menjadi informan penelitian
tersebut mengaku, mereka sulit bersosialisasi pada lingkungan nyata dan ingin terlihat
trendi dan eksis di media sosial. Bahkan hingga rela berhutang untuk membeli
baju model terbaru dan makan di kafe mahal, untuk diunggah di media sosial. Jika
kondisi ini terus terjadi, maka masa depan bangsa akan terancam. Generasi muda yang
terlena dengan gadget, bisa terjerumus pada gaya hidup hedonis dan memiliki
kepekaan rendah terhadap lingkungan sosialnya.
Apa
saja tanda-tanda kecanduan gadget?
- Anak mulai tidak berminat pada aktivitas lain.
- Sehari lebih dari 2 jam menggunakan gadget secara
terus menerus.
- Terlihat perubahan tingkah laku, misalnya menjadi
pemarah.
- Moodswing
atau suasana hati yang mudah berubah.
- Prestasi belajar menurun.
- Mulai malas untuk menjaga kebersihan dan
kesehatan diri
(Gustiana,2016)
Gerakan
literasi media, merupakan harapan ketika banyak remaja kita kecanduan media.
Inti dari gerakan ini adalah, mengajak masyarakat untuk lebih cerdas dalam
penggunaan media. Kita diharapkan mampu untuk memilih informasi yang kita
butuhkan, dan bukan mengakses media hanya untuk keinginan. Orangtua diharapkan
dapat mendampingi dan mengkontrol putra-putrinya dalam penggunaan gadget.
Membatasi penggunaan gadget, merupakan langkah awal untuk menyelamatkan diri
kita sendiri dan anak-anak kita dari bahaya kecanduan media.
Berikut
ini adalah diagram yang dapat digunakan orangtua untuk memantau penggunaan
gadget pada anak-anak berdasarkan usia anak.
- Usia 0-2 tahun tidak diajurkan (berdasarkan
rekomendasi APA, American Pediatric Association) karena sinar biru yang
terpancar melalui layar sentuh berpengaruh pada perkembangan syaraf mata.
- Usia 3-5 tahun, hanya dianjurkan 1 jam perhari
untuk hiburan seperti mendengarkan lagu, menari, dan bernyayi. Anak usia
dibawah 5 tahun membutuhkan stimulasi untuk perkembangan motoriknya
sehingga aktivitas bergerak sangat diajurkan.
- Usia 6-12 tahun, waktu untuk beraktivitas dengan
gadget 1-2 jam perhari untuk hiburan dan sarana belajar dengan pengawasan
orangtua.
- Usia 13-18 tahun, remaja sudah dapat diberi
kepercayaan untuk menggunakan gadget sehari-hari dengan pengawasan penuh
dari orangtua.
Keterlibatan orangtua dalam aktivitas
sehari-hari anak sangat dibutuhkan, misalnya orangtua meluangkan waktu 15-45
menit sehari untuk family time. Membuat
peraturan penggunaan gadget, untuk orangtua dan anak ketika di rumah. Selain
itu, harus ada keterbukaan dalam berkomunikasi dengan anak. Orangtua juga harus
terampil menggunakan perangkat digital, misalnya memonitor pertemanan anak di
media sosial dengan ikut serta berteman secara virtual. Menjadi orangtua
digital, harus mampu menjadi teladan atau role
model untuk anak-anaknya tentang keseimbangan penggunaan gadget. Mulailah
cerdas bermedia, dan bersama-sama berdiet media!.
Related Link:
https://malangvoice.com/yuk-diet-media/
Read More