In

I BECOMING A WORKING MOM, PROBLEM COMES


Gambar diambil dari: http://www.digitalmomblog.com/life-of-a-working-mom/

Senin 2 Desember lalu, aku mulai bekerja lagi. Setelah setahun lebih fokus mengurus Yitzhak saja. Sebelum hari awal kerja, drama terjadi. Seperti biasa. Perbedaan pandangan dengan ayah. Menurut ayah, kalau misal dia ada kerjaan ke luar kota dan harus ninggalin Yitzhak, gak ada istilah dititipkan ke day care. Padahal kesepakatan sebelumnya, day care adalah solusi kalau kita bentrok jadwal. Oya, aku jelasin dulu. Hari-hari aku bekerja, Ytzhak dirumah berdua dengan ayah. Tidak ada ART, karena pertimbangan ingin pembangunan karakter dan mengikuti tumbuh kembang Yitzhak sesuai dengan misi keluarga kita. Bukan orang lain. Orang tuaku maupun orang tua suamiku tinggal jauh di luar kota. Jadi kita betul-betul harus mandiri karena tidak ada keluarga atau orang yang bisa dipercaya untuk menjaga Yitzhak selama kita bekerja. Pekerjaan suamiku sebagai fotografer dan editor foto, membuatnya leluasa untuk meng-handle pekerjaan dari rumah. Sementara aku punya waktu bekerja di luar rumah selama week day.
 
Beberapa kali mamaku menawarkan, bagaimana kalau Yitzhak ikut oma saja. Tapi aku yang nggak rela jauh sama dia. Disamping itu Yitzhak masih ASI, usianya juga masih 15 bulan. Masih panjang perjalanan minum ASI-nya menuju dua tahun. Karena belum ketemu jalan keluarnya, ya sementara masalah ini masih kita saku dulu. Kalau bentrok jadwal terjadi, aku harus telepon mama atau ibu mertua untuk datang menjaga Yitzhak sementara, sampai ayahnya pulang dari luar kota.

Aku yakin kebingungan seperti ini bukan aku saja yang mengalami. Hampir setiap orang tua pasti pernah mengalami persoalan demikian. Ingin mengasuh anak sendiri, supaya nilai-nilai dalam keluarga tetap terjaga. It means, anak faham kebiasaan yang ditanamkan keluarga, disamping orang tua tetap bekerja. Semoga dengan semakin dewasanya Yitzhak, ayah bisa kembali bekerja seperti biasa, dan kita menemukan model/ pola asuh yang tidak akan mengubah karakter Yitzhak kedepannya. We love you 'super boy'!.
Gambar diambil dari: http://www.olegun.com/about-that-atlantic-article-why-working-from-home-isnt-the-answer-for-working-moms/

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Yitzhak Lulus S2 ASI...


Sudah beberapa hari yang lalu Yitzhak ulang tahun pertama. Tapi aku lupa upload sertifikat lulus S2 ASI nya. Alhamdulillah sampai sekarangpun dia masih ASI. Tentunya sesudah satu tahun, boleh minum tambahan susu UHT hehehe!. Diet MPASI rumahan tanpa gula garam juga lulus sampai satu tahun ini... Selamat ya nak, semoga nanti bisa sampai lulus S3... Amien!

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Target Idup

Setidaknya, setiap orang pasti punya target dalam hidup. Gak terkecuali mom seperti aku yang masih dinas dirumah aja... Ijazah S2 juga masih tentram dalam lemari, belum tersentuh. Ya mungkin ini saatnya untuk bangkit lagi... untuk para moms, ayo kita berkarya.... ^_^b   


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Horee...Yitzhak Sudah Satu Tahun...



Nggak kerasa, anakku sudah satu tahun tanggal 12 kemarin. Kita sekeluarga merayakan kecil-kecilan, meski dia belum ngerti tiup lilin dan kue tart. Paling tidak saat dewasa nanti, dia tahu betapa sayangnya kami padanya, saat melihat foto ulang tahun pertamanya. Selamat Ulang Tahun sayang...Semoga kelak kau jadi anak sholeh, berilmu, berbakti pada kami orangtua mu, dan berguna bagi agama dan negara, Amien!



Kue ulang tahun ke-1Yitzhak



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Yitzhak Susah Makan Saat Common Cold

rewelnya saat mau mulai makan

Sebenarnya ini bukan kali pertama Yitzhak terserang flu. Tapi entah kenapa di episode flu kali ini, kesabaranku sedikit diuji. Usia Yitzhak hampir satu tahun, tapi gigi geliginya belum nongol satu pun!. Meski begitu, dia sudah ku beri menu nasi lembek (bukan diblender lagi). Sementara sayur dan daging-dagingan ku potong kecil-kecil. Tujuannya untuk merangsang pertumbuhan gigi (itu juga kata DSAnya), hehe. Saat sehat, dia makan pelan banget. Jadi kita musti sabar nunggu dia ngunyah.

Well, kembali ke soal flunya Yitzhak. Dalam kondisi seperti ini, dia mungkin ngerasa badannya gak enak. Mana ingus juga keluar terus, suaranya juga sengau. Dia jadi gak bisa nelan makanan seperti biasa. Emaknya yang nyuapin jadi sebel, masa harus nungguin anak ngemut makanan. Kapan selesainya, pikirku.

Beberapa waktu lalu, aku sempat browsing gitu soal parenting. DSA-nya bilang, kalau ngasih MPASI ke anak diatas 7 bulan tekstur makanannya harus yang paling kasar yang bisa dikunyah anak. Aku sebagai ibu muda, otomatis juga menerapkan hal itu. Dalam artikel juga dikatakan, kita gak boleh mundur langkah. Misalnya udah pakai nasi tim. Anak bisa mengunyah, tapi hanya makan sedikit. Lebih banyak makan kalau makanannya diblender dulu. Hal ini yang perlu diperhatikan. Kata tuh DSA, anak akan belajar sedikit demi sedikit setiap makan, jadi kita nggak boleh nurunin tekstur dari nasi tim ke nasi blender (nasi tim saring).

Membaca teori itu sungguh indah. Tapi menerapkannya? Belum tentu. Terlebih saat anak dalam kondisi sakit. Lha kita aja, kalau sakit kadang pinginnya juga makan bubur atau yang gampang ditelan karena mulut pahit. Ok, kembali ke drama makan sorenya Yitzhak. Dia bener-bener gak bisa nelan nasi dan daging yang ku suapin. Akhirnya (dengan sedikit geregetan), ku blender aja semua makanannya. 

bubur nasi daging (ekstra bawang putih)
Setelah jadi bubur nasi daging gitu dia baru lahap makan. Oalah nak, bunda sampe stress rasanya mikir biar kamu banyak makan. Saat Yitzhak flu, aku nggak pernah kasih obat kimia. Obatnya cuma ASI dan makanan sehat (biasanya sup atau sayurnya ku beri ekstra bawang putih).  Kalau sudah gitu paling lama seminggu insyaallah sembuh. Biarkan anak membentuk antibodinya sendiri dari asupan ASI yang dia minum. Itulah keutamaan ASI. Sepertinya aku memang sudah kecanduan ASI. Yitzhak sakit apapun, obatnya ya cuma ASI. Mau flu seberat apapun atau panas dibawah 39 derajat hanya ASI obatnya. Selama ini aku mencoba menerapkan gaya hidup sehat aja ke Yitzhak. get well soon ya sayang, 

akirnya makan juga, setelah nasi diblender
happy ending, sampai minumnya juga habis

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

It’s Hard Being a Woman


Banyak hal yang aku lalui sesudah menjadi isteri sekaligus ibu. I’m not a girl anymore. Pagi hari bagun, hal pertama yang aku lakukan adalah menyiapkan keperluan anakku. Membuatkan nasi tim, sayur dan lauknya tanpa tambahan gula garam, menyiapkan mandi, lalu menyuapinya sarapan pagi. Then, Yitzhak dipegang my hubby. Di saat yang sama aku melanjutkan pekerjaanku. Masak. Usai masak, membacakan cerita untuk Yitzhak sambil nenenin.

Itu sekedar hard skill ku sebagai bunda. Sementara soft skill yang dibutuhkan mungkin lebih panjang dari daftar pelamar CPNS. Aku harus membentuk karakter anakku seperti apa. Dalam hal ini orang tua adalah arsitek. Rancang bangunnya harus dipersiapkan dan dipikirkan dengan matang. Jika kelak ingin anak kita sukses. Tentunya disertai berdoa kepada Allah.

Memikirkan semua hal diatas (dan mungkin masih banyak matter yang belum disebutkan) membuat aku sebagai bunda baru sering mengalami stress. Apa lagi awal pasca melahirkan. Saat aku sering bergadang untuk nenenin Yitzhak setiap 3 jam. Rutinitas baru itu membuat kondisiku lemah dan psikologisku juga terganggu karena merasa belum siap dengan segala konsekuensinya. Many people say that’s baby blues.

Siapa bilang jadi perempuan itu gampang? Paparan diatas hanya kicauan singkat. Bagaimana dengan ibu yang bekerja, dan tetap memberikan ASI Eksklusif pada anaknya?. Jangan hanya bicara anak lah. Kewajiban isteri kepada suami akan seperti apa?. Kalau ada asisten rumah tangga (ART), baby sitter, atau oma yang bisa jagain anak kita mungkin semua akan terasa lebih ringan. Tapi kalau tanpa semua bantuan tersebut?. Butuh perempuan cerdas untuk membangun sebuah keluarga yang sukses. Ibu yang baik, dan isteri yang cakap.

Saya sering merasa berat menjalani semua ini. Masak, nyuci, nyetrika, beresin rumah, dan ngurus anak suami semua saya lakukan sendiri. Tanpa bantuan siapapun. Awal menjalani semua ini, badan sering capek gak keruan, nangis mojok sendiri di kamar, dan mengadu sama Allah. Kenapa aku diberi porsi seperti ini sekarang. Saat masih single, nyuci bajau sendiri nggak pernah, beres-beres juga semaunya. Sementara sekarang hidupku berbalik 180 derajat.
keluarga kecilku, saat perayaan lebaran kemarin

Aku suka sekali membaca. Tapi di rumah sekarang, buku aja nggak genap sepuluh biji. Hal ini juga yang membuat aku depresi berat. Buku, novel, dan musik itu candu buat aku; dan sekarang sama sekali jauh.
Terkadanga ada perasaan marah. Studi lanjut ku selesaikan dengan excellent, tapi kenapa aku harus seperti ini.

Tapi hari ini, aku memiliki hari yang indah. Sungguh. Di awal hari, my hubby memutarkan lagu saat kita masih PDKT dulu. Sebetulnya itu tidak sengaja, tapi cukup membuatku sadar, dan recharge. Apa yang membuatku memilihnya dulu.

Itu semua membayar capek, keluh, dan semua yang selama ini belum bisa aku terima. Aku sadar, untuk tidak boleh terus terpuruk dalam kesah yang tak berujung. Aku sadar bahwa inilah hidup yang harus dijalani. Inilah real life dalam pernikahan. Melihat tawa Yitzhak, aku tak lagi bermimpi. Tapi tetap bercita-cita dan berusaha pasti. Terimakasih my hubby, Yitzhak- my li’l warrior kalian membuat hidupku lebih berarti. Hari ini, aku merasa seperti masuk dalam labirin waktu dan berhenti pada happiness hole… ^_^.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

BERUSAHA MEMBERIKAN YANG TERBAIK


26 Juli 2013 (baru sempat posting juga, hehe!)

Di usia 10 bulan ini, Yitzhak – my li’l scientist – masih tetap makan tanpa tambahan gula dan garam. Enam bulan pertama dia lulus ASI eksklusif, selanjutnya MPASI rumahan ku terapkan dengan ketat. Syukurlah dia juga enjoy.
Makan pertama Yitzhak (usia 6 bulan): serelia buatan Bunda
Hari ketiga di rumah mertua, banyak yang ku bicarakan dengan ibu mertua. Kesimpulannya, aku sudah harus memberikan nasi tim ke Yitzhak. Sebelumnya, memang pernah ku buatkan nasi tim. Tapi dia belum  bisa nelan, karena belum tahu konsep mengunyah dan nasi terlalu lengket di mulutnya. Saat ini mungkin memang sudah saatnya ngasih nasi tim. Masukan bagus pikirku, meski gigi geliginya belum ada yang nongol satu pun.
Aku bicara jujur ke ibu mertua, kalau nggak bisa bikin nasi tim. Akhirnya mertuaku yang membuatkan nasi tim. Sebelumnya kita sempat diskusi soal memberi gula dan garam pada makanan bayi. Aku tetap keukeuh no gulgar sampai 1 tahun, dengan berbagai macam argumen. Tapi ibu mertuaku tetap ngotot dan bilang nggak akan kenapa-napa, toh sudah 10 bulan ini. Ya memang gulgar bukan racun, tapi untuk jangka panjang anakku, that’s a big big NO!.

Nasi tim sudah jadi (made in mertua). Daun bayam, tempe dan hati ayam kampung sudah ku kukus secara terpisah. Tinggal memberikan menu baru dan tekstur baru ini ke Yitzhak. Suapan pertama, dia masih ngerasa biasa aja. Suapan kedua dia mulai ngernyit. Di suapan ke tiga, dia mulai menyembur-nyembur makanan dan akhirnya menolaknya sama sekali. Aku nggak bisa ngerasain makanan Yitzhak karena sedang puasa. Dia nggak biasanya nyemburin makanan. Paling pol kalau sudah kenyang, dia nggak mau buka mulut, dan aku tidak pernah memaksakan makanan masuk ke mulut mungilnya saat dia sudah seperti itu. Time for luch; tidak jauh berbeda. Dia betul-betul menolak makanan yang ku beri.  Makanan masih sisa banyak sekali, saat meluncur ke tong sampah. Sanyang banget lihatnya. Kondisi seperti ini, analisaku hanya pada bayam dan tempe yang baru pertama kali dia rasakan serta tekstur nasi tim yang kasar. Sebelumnya, Yitzhak makan dengan karbo, sayur dan protein hewani (daging ayam atau ikan air tawar) yang ku blender bersama.

Setelah sholat dzuhur, kami sekeluarga (mertua, suami, aku dan Yitzhak) berkumpul di ruang tengah sambil ngobrol dan nonton tv. Tiba-tiba ibu mertuaku tanya, gimana tadi Yitzhak mau makannya?. Aku mengangguk saja , meski sebenarnya dia makan sedikit dengan drama nyembur makanan (lebai ya bahasanya.. ^_^). Suddenly, ibu mertuaku bilang kalau nasi timnya tadi dicampur dengan sedikit garam. Biar ada rasanya katanya. Huuaa… kaya disambar petir, pingin marah!. Tapi berusaha ku tahan dan bilang ‘loh bu kan belum boleh, belum satu tahun’. ‘Alah,sudah 10 bulan tu sudah gak papa’. Beliau tetap pada pendiriannya. Aku merasa ada privasi asuh anak yang dicampuri. Saat itu aku hanya diam, menunjukan protesku ke beliau.

Aku panggil suamiku ke kamar. Aku bicara empat mata soal konsistensi memberikan makanan yang terbaik untuk Yitzhak. Dia bilang nggak ngerti soal ibu ngasih garam. Tapi inti persoalannya bukan itu. Aku ingin suamiku juga tegas dan konsisten soal makanan yang masuk ke mulut Yitzhak. Termasuk memberikan pengertian ke ibunya soal ini. Setelah bicara panjang lebar akhirnya dia mengerti. Dengan beberapa catatan jalan keluar.

  • ·         Yitzhak kalau lihat ada orang makan, pasti teriak pingin ngambil makanan itu Ă  Solusi: biar tidak diberi makanan sembarangan, aku harus menyediakan fingerfood sehat buat dia.
  • ·         Saat mulai siang, dia rewel (indikasi lapar, meski tidak selalu) Ă  Solusi: supaya tidak disangka orang lain lapar dan akhirnya dikasih makan sembarangan, mulai sekarang Yitzhak makan tiga kali sehari.

 Ya semoga ini menjadi pelajaran berharga sebagai upaya bunda memberikan yang terbaik untuk Yitzhak.. love Yitzhak so deep! ^_^

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Yitzhak First Story to The Mosque


25 Juli 2013 (baru bisa posting sekarang...)

Hari ke dua di rumah mertua, hari ke 17 Ramadhan, dan hari pertama Yitzhak – my li’l warrior – pergi ke masjid untuk ikut sholat berjamaah. Sebenarnaya tujuan awalnya untuk memperkenalkan dia dengan lingkungan masjid. Supaya nanti waktu sholat IED, Yitzhak nggak canggung dengan suasana masjid. Sekarang usianya sudah 10 bulan. Waktu usia 6 bulan pernah ku ajak ke masjid untuk jamaah sholat Maghrib, sayang tanggapannya mengejutkan. Yitzhak takut dengan para jamaah perempuan yang memakai mukena. Setelah melihat sekeliling, Yitzhak nangis histeris ketakutan. Walhasil, sholatku nggak khusu’ (mungkin jamaah lain juga ngerasa gitu ya..^_^). Ayahnya yang denger jerit tangis anaknya dari shof jamaah laki-laki, ikut gak enak sama jamaah lain plus nggak khusyu juga. Setelah kejadian itu ku putuskan sementara untuk nunggu agak besar dulu baru diajak ke masjid. Tibalah sholat tarawih di bulan Ramadhan di rumah mertuaku, menjadi kali kedua Yitzhak menginjakan kaki.. ehm, maaf mungkin lebih tepat dengan merangkakkan kaki di masjid.
tampilan Yitzhak pulang tarawih pakai peci ayah
Second times to mosque, geliatnya tidak jauh berbeda. Emak dan bapaknya hampir menyerah begitu sampai masjid. Yup! Didepan pintu masjid dia sudah mewek. OMG! Untung ibu mertuaku saat itu menguatkan, ‘ayo diajak masuk, kita cari tempat di shof belakang biar tidak mengganggu jamaah lain kalau Yitzhak nangis’. Aku mengangguk dan berusaha bertahan.

Rakaat pertama sholat isya’, dia nangis sekencang-kencangnya. Di rakaat ke dua, dia ku gendong sambil sholat. Itu juga nangisnya masih kenceng, belum berkurang dari empat oktaf (sabar…). Rakaat ke tiga dan ke empat tinggal ngeringik aja. Baru setelah salam, aku nenenin dia. Dengan semua mata ibu-ibu jamaah tertuju padaku. Mungkin mikirnya, nih orang siapa sih gak pengertian bener anak masih kecil diajak ke masjid pake acara nangis kenceng banget lagi. Duh, aku hanya tersenyum pada setiap mata yang memandang, dan meluruskan  niat kalau tujuanku membawa Yitzhak saat itu adalah untuk mengenalkan dia dengan agama dan tuhannya. Tapi yang pasti, untuk prepare sholat IED nanti.

Mertuaku yang sholat tepat disebelahku menawarkan, mau pulang dulu? Tapi aku menolak, kali ini aku sendiri yang memutuskan bertahan. Sebab saat tiba sholat tarawih, Yitzhak dapet teman. Dia merasa comfort dengan teman barunya. Tiga anak kecil yang godain dia dari balik jendela (kebetulan kita sholatnya tepat disamping jendela). Ketiga anak ini ajak Yitzhak main ci luk baa. Mungkin karena dia juga pas seneng-senengnya main ci luk baa, Yitzhak ketawa sampai teriak-teriak histeris saking senangnya. Hatiku mulai ketar-ketir. Nih anak kalau nggak nangis histeris, ketawanya kenceng banget. Setengah permainan sholat tarawih, dia bosan. Mainannya dilempar, teman baru sudah gak mempan menghibur. Ronde ke dua dia nangis kenceng lagi. Aku gendong dia dan pindah ke shof paling belakang, yang banyak anak kecilnya. Harapanku dia bisa main dengan anak-anak lain, dan aku lanjut sholat tarawih. Tapi trik itu juga nggak berhasil. Akhirnya, aku bawa dia ke teras masjid. Duduk sambil menghibur dia yang nangis sesenggukan sampai sholat tarawih usai.

I just pray that you will understand what I do for you, it could be best for your future Insyaallah… Amien!  

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

UJIAN TESIS DAN DRAMA PERSALINAN

Lama sudah aku tidak menulis…

Cerita ini akan aku awali pada Januari 2012 lalu. Flash back, saat itu sesudah seminar proposal aku dapat hadiah membahagiakan; yup! Aku hamil.

8 month pregnancy

Selama menulis perbaikan proposal, penelitian, sampai ujian tesis dedek ku bawa bersamaku. Rutinitas kerja, PP Solo-Jogjakarta naik Prameks untuk bimbingan, dan PP Solo-Malang buat penelitian; semua ku jabahi demi lulus S2 dan mengajak dedek dalam kandunganku ikhtiar kalau bundanya masih sekolah. Harapanku saat itu, hanya ingin jadi ibu sekaligus mahasiswa yang baik. Kontrol ke dokter tiap bulan gak pernah telat, minum vitamin rutin, dan selalu makan makanan sehat. Jadi kalau mau ke Jogja gitu pasti heboh! Satu tas bawa naskah bimbingan, buku, dan laptop; di tas lain ada ransum bumil (crackers, buah, susu, dan roti). Udah gitu di kereta ada aja bapak-bapak atau mas-mas, yang ‘tega’ liat bumil berdiri gelayutan ato duduk lesehan beralas koran. Sementara mereka duduk manis sambil baca Koran (ough..!!). Semua itu aku jalani sampai usia kandunganku 7 bulan.

Di bulan ke 8 usia kandungan, riset selesai dan acc dosen pembimbing untuk segera ujian. Memang saat itu hampir semua teman-teman seangkatan, pada hectic pingin cepet-cepet ujian – it’s mean tidak ada uang SPP yang perlu dibayarkan lagi ^_^. Aku ujian tesis – tanpa didampingi siapapun- tanggal 7 Agustus 2012, dan Alhamdulillah lulus dengan seabrek revisi. Saat itu bertepatan dengan bulan puasa. Selang sehari berikutnya, my hubby jemput ke Jogja untuk pulang ke Malang dan mudik ke daerah bareng-bareng.

Drama Jelang Proses Persalinan

Hari raya idul fitri; hari kemenangan, bumil serasa merdeka makan segala macem kue, ketupat sayur yang lauknya banyak bersantan-santan. Akhirnya saat kembali ke Malang, aku terserang DIARE. Panik? Pasti. Tapi my hubby menenangkanku dan buatin teh pahit. Aku  bolak-balik kamar mandi lebih dari empat kali sehari, karena khawatir akhirnya kami cari referensi SPOG yang recommended dan dokternya perempuan. Soalnya selama ini aku periksa hamilnya kan di Solo. Akhirnya pilihan kami jatuh ke dokter Prita di Permata Bunda – Soekarno Hatta Malang. Sama dr. Prita aku diperiksa USG dan katanya air ketubanku sedikit dan sebagian keruh. Nah loh! Apa gak tambah panik rasanya. Lalu dilakukan observasi, mulai dari CTG (memantau gerak janin), makan yang mengandung elektrolit (degan, kacang hijau, dan madu), sama dikasih antibiotik khusus bumil (harganya lumayan mahal -_-‘). Setelah beberapa hari, kami diminta kontrol lagi ke Hermina – Jl. Tangkuban Perahu Malang; masih dengan dr. Prita. Dilihat lagi, ternyata air ketubanku belum juga nambah. Khawatir ada air ketuban yang merembes, dicek juga pakai kertas lakmus tapi hasilnya juga nihil – tidak ada air ketuban keluar atau merembes. Akhirnya kami disarankan untuk cek laboratorium, dengan USG Dopler.

Saat panik gitu, aku inget punya saudara yang lagi PPDS Radiologi. Aku ceritakanlah kondisiku, dan dia langsung heran kok pakai USG Dopler? Bukan USG 4D? aku jawab sesuai alasan dr. Prita menyarankan USG jenis tersebut. Saudaraku itu masih bingung, dan akhirnya dia membuka diskusi dengan teman-temannya yang juga sedang PPDS baik dari Radiologi ataupun Obgyn. Semua menyatakan hal yang sama KENAPA USG DOPLER? Nah loh! Para calon dokter spesialis aja bingung gimana aku?. Akhirnya dengan disperate, aku USG Dopler juga dan hasilnya saya smskan ke dr. Prita. Saran beliau saat itu, lebih aman bagi ibu dan bayi kalau secepatnya SC (Sectio/ Operasi Caesar), dan dipantau di rumah sakit. Wah, sudah disperate, bingung, takut, campur jadi satu. Padahal sejak awal aku sudah pede bakalan lahir normal, IMD (Inisiasi Menyusui Dini), dan menikmati setiap prosesku become the real mom.

Keputusanku dengan hubby, kita cari second opinion. Kalau memang harus SC aku ingin di Tulungagung aja, dekat sama mama di kota asalku. Akhirnya kita boyongan ke Tulungagung. Padahal sebelumnya semua perlengkapan bayi sudah kita angkut ke Malang waktu lebaran.

Hal pertama yang kita lakukan begitu sampai di Tulungagung, mencari rekomendasi dokter obgyn yang bagus. Akhirnya pilihan kita jatuh ke dr. Fatchurrahman, SPOG. Antrean di tempat praktek dokter itu panjangnya menggila. Aku baru dipanggil jam setengah sepuluh malem. Itupun masih banyak yang antri sesudah aku.

Percakapanku dengan dr. fatchur:
(Sambil lihat di layar USG)
dr                     : Bagus kok, nggak ada masalah. Mau ngintip kelaminnya gak?
Aku (A)           : iya dok (meskipun sebenernya sudah tahu)
dr                     : cowok ini  
A                     : dari USG ini bisa dilihat air ketubannya keruh nggak dok?
dr                     : USG seperti ini nggak bisa buat deteksi air ketuban keruh atau bening.
A                     : (akhirnya aku cerita sebenarnya dan menyerahkan hasil lab terakhir ke dokter itu)
Sambil mengamati hasil USG Dopler
dr                    : loh, ini nggak ada masalah… hasilnya bagus gini kok
A                     : ada kemungkinan saya SC nggak dok?
dr                    : loh kenapa musti SC? Lha keadaan ibu dan bayinya bagus gini kok
A                     : kira-kira air ketuban saya ini cukup nggak dok sampai nanti proses lahiran?
dr                    : cukup atau nggaknya bukan saya yang nentukan tapi Tuhan. Bisa cukup bisa juga tidak. Gini lo, kalau ibu semangat untuk bisa melahirkan normal Insyaallah bisa normal. Ada tiga syarat melahirkan normal. Pertama, panggul ibu cukup untuk keluar bayi, kedua ukuran bayi tidak terlalu besar, dan yang ketiga semangat si ibu untuk bisa melahirkan normal.
Saat itu juga aku merasa plong!
dr                    : kalau sampai tanggal 18 September nanti (2012) belum ada kontraksi kesini lagi ya?

Aku mengiyakan, berterimakasih, dan pergi dengan lega. Tapi tetep… berdoa gak ada putusnya.

Mungkin ini adalah kemudahan yang diberikan Tuhan buat keluarga kami. Tanggal 11 September malam, kandunganku sudah sering kontraksi. Tanggal 12 September pukul 11 siang aku pergi ke bidan dekat rumah, karena kontraksi yang semakin sering. Dicek sama bidannya ternyata sudah bukaan satu. Alhamdulillah prosesnya cepat, dan jam tujuh malam Yitzhak Amirullah Sahri lahir di dunia ini. Tidak ada operasi, berarti tidak ada pisau bedah, tidak ada bius, dan aku langsung bisa memeluk Yitzhak begitu dia lahir. Subhanallah…

Informasi dari bidan yang membantu persalinanku, air ketubanku ternyata masih sangat banyak. Bahkan setelah bayi sudah lahir, masih banyak yang keluar. Menurut bidan, air ketubanku bersih, tidak bau, dan tidak ada masalah apa-apa. Tudak berhenti aku mengucap syukur… Alhamdulillah ya Allah, engkau telah memudahkan jalan kami.

Oh ya… sebelum aku masuk ke ruang bersalin aku masih sempat merevisi tesis dan mengirimnya ke dosen penguji dan pembimbingku lo… hahaha! Usaha lah ya, biar dua-duanya dapet… So nggak ada alesan utuk yang kuliahnya lama, ngerjain tesis gak selese-selese.. emak-emak hamil aja bisa kok.. Semua pasti ada jalan kalau kita punya kemauan kuat. Insyaallah… ^_^b.

ini foto-foto Yitzhak new born






Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Flickr

Subscribe