In

Persiapan Seminar Proposal Tesis

Besok 16 Januari 2011 adalah hari penentu aku akan melanjutkan penelitian atau masih akan banyak revisi untuk Tesisku. yah, semoga besok semua berjalan dengan lancar. Just that i wish...^_^. Nervous pasti, tapi semua ini harus dilakukan... semoga menjadi awal yang baik, Insyaallah... Amien. Foto-foto ini kenangan saat masih aktif kuliah.. sesudah semprop, kita berjuang sendiri-sendiri.. hiks! aku pasti akan merindukan masa-masa bersama kalian... our future in our hand! ^_^ Elation!

Saat masih aktif kuliah sama temen sekelas Kebijakan Komunikasi (ki-ka: Tami, Ellen, Ronny, Hana)

Sebelum kantor jurusan Komunikasi UGM dipugar.. sama Hana & Tami ^_^



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Nemenin hubby, jalan-jalan keliling Solo... ^_^





Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Holiday with my loving people

Liburan hari raya kemarin, aku dan hubby sempetin jalan-jalan ke pantai Karang Gongso (Pasir Putih) di Trenggalek...





Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Mencoba memulai lagi...

Sudah dua tahun aku tidak lagi membuka blog ini, sejak terakhir aku memposting tulisan. ah.. kangen rasanya.. semoga ini jadi awal yang baik untuk "memulai" lagi...^_^

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Ramalan Suku Maya, Media, dan Sabda Samawi


Kalau ditanya tentang ramalan, mungkin saya merupakan satu diantara orang yang tidak mempercayai hal itu. Bukan bermaksud mematahkan anggapan bahwa ramalan suku Maya tentang bencana besar di tahun 2012 salah. Hanya karena alasan simple, saya beragama. Banyak kisruh yang ditimbulkan akibat film 2012 beberapa waktu lalu. Film ini mengisahkan terpenuhinya ramalan akan terjadinya bencana besar pada tanggal 21 Desember 2012, hari saat berakhirnya dunia atau hari kiamat. Film ini seolah-olah merangkaikan bencana-bencana yang banyak terjadi dan kita alami belakangan ini dengan akhir dunia : tsunami, gempa bumi, gunung meletus, pemanasan global, dll.

Suku Maya punya hitungan untuk melihat kapan akan terjadi bencana besar, yang diartikan banyak orang sebagai hari kiamat. Sementara agama (samawi) juga punya perspektif sendiri tentang hal ini. Lain lagi dengan media, yang bertugas sebagai pembentuk opini publik dengan mengangkat tema-tema kiamat dan menghubungkan dengan banyaknya bencana yang terjadi. Dalam kajian inter-cultural dan inter-religi, isu kiamat di media massa menjadi sangat menarik untuk dibahas.

William B. Gudykunst, dalam bukunya Handbook of International and Intercultural Communication (2002:187) punya bahasan menarik tentang Teori yang berfokus pada akomodasi atau adaptasi. Menurut Gudykunst, capaian teori ini berfokus pada bagaimana komunikator (baca: masyarakat) mengakomodasi atau mengadaptasi budaya diluar budaya aslinya. Ada satu teori tentang kajian antar budaya, yang akan kita coba untuk membingkai isu kisruh film 2012, sebelum kita bicarakan juga pada frame antar agama. Teori tersebut adalah teori akomodasi komunikasi yang merupakan gabungan konteks sosiohistoris dan hubungan antar kelompok budaya yang melakukan interaksi. Kalau kita hubungkan dengan melandanya isu ramalan suku Maya, impact media punya andil besar. Bagaimana ramalan suku Maya yang berada di semenanjung Yucatan - Amerika Tengah, berpengaruh besar pada opini masyarakat hampir di seluruh dunia?

Meminjam teori Gudikunts untuk melihat fenomena ini, berarti masyarakat dunia dengan berbagai latar belakang kepercayaan telah melakukan interaksi budaya, meskipun tidak secara langsung. Konteks sosiohistoris yang berbeda, seolah terjembatani dengan adanya media film yang mengusung tema ramalan suku Maya. Banyak masyarakat dunia mempertimbangkan informasi dari film tersebut. Meski kemungkinan besar kepercayaan mereka tidak mengenal adanya hari akhir (kiamat). Pada isu ini, bisa dikatakan bahwa konstruksi media dalam membentuk opini, sampai menyentuh ranah pribadi. Hak asasi manusia salah satunya adalah bebas untuk menentukan kepercayaan. Namun ternyata dampak media, bisa mempengaruhi hal itu.

Otak-atik Sabda Samawi
Pada pembahasan ini sebenarnya saya agak kesulitan mendapatkan literatur tentang agama samawi yang dibawa oleh Daud atau David. Dari beberapa artikel yang saya baca, akhirnya saya menemukan cerita tentang pengakuan seorang tokoh Zionis-Yahudi di Amerika Serikat bernama Rabi Yitzhak Qadduri. Dia sangat yakin jika asteroid besar itu akan menghantam wilayah Amerika Serikat, sebagaimana meteor raksasa yang pernah menghantam kawasan Arizona sehingga sampai saat ini meninggalkan cerukan yang sangat besar di sana, (dhymas.wordpress). Rabi Qadduri bahkan menyerukan agar kaum Yahudi Amerika pindah ke Ethiopia, satu diantara negeri di Afrika yang diyakininya akan selamat dari bencana tersebut.

Selain itu ada beragam tanggapan tentang film, ramalan dan fenomena adanya hari akhir: dari panik, takut, cuek sampai bertanya-tanya : “apakah akhir zaman sudah mendekat?”. Menanggapi situasi kepanikan seperti ini, dikisahkan dalam Injil (Luk 21:5-19) Yesus menjawab pertanyaan para muridnya: “Guru, bilamanakah itu akan terjadi? Dan apakah tandanya kalau itu akan terjadi?” (Luk 21:7) Yesus justru mengingatkan para murid : “Waspadalah, jangan sampai kamu disesatkan. Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata ‘Akulah Dia’ atau ‘Saatnya sudah dekat’. Janganlah kamu mengikuti mereka.”

Sementara dalam agama samawi lain, mempercayai ramalan merupakan perbuatan syirik atau perbuatan menyekutukan Tuhan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah". Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al Ahzab: 63). Agama ini mempercayai adanya hari akhir yang ditandai dengan dahsyatnya bencana di bumi.

Dari ulasan diatas, konstruksi media yang menyebabkan banyak kisruh isu hari akhir di tahun 2012 membuat saya berbelok berfikir untuk kembali melihat kepercayaan. Menurut saya, saat suku Maya percaya dengan ramalannya, maka masyarakat dengan sosiokultur yang berbeda di belahan dunia lain juga memiliki perhitungan sendiri. Bisa dari ramalan atau kepercayaan. Melihat isu ini, saya hanya ingin mengembalikan bahwa setiap peradaban punya sejarah dan media punya kekuatan untuk membentuk opini dan mengkonstruksi. (el)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Industri Film Indonesia??

Film sebagai media komunikasi merupakan cermin dari realitas sosial. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat bisa menjadi pesan sosial yang terkandung dalam sebuah film. Meski pesan yang disampaikan bukan hanya pesan “terang”, namun juga sisi gelap kehidupan. Banyak hal yang bisa dipelajari dan mengambil inspirasi dari cerita sebuah film. Menurut Alfred Hitchcock (dalam Danesi,2002:107), meresepsi pesan dari sebuah film tidak hanya soal memahami pembicaraan secara dialogis; namun lebih dari itu. Stimuli yang terjadi pada setiap orang, akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Hal itu akan berpengaruh pada makna pesan yang akan sampai pada setiap audiens film (penerima pesan).

Pada dasarnya, masyarakat memiliki sebuah agenda (baca: agenda masyarakat); yaitu persoalan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan bersama dan segera perlu diselesaikan. Saat masyarakat bergejolak, isu ini akan ditangkap oleh media dan akan menjadi agenda media – atau hal yang dianggap penting untuk diblow-up media. Berbagai media massa akan menjadikan agenda masyarakat sebagai objek. Saat posisi seperti ini terjadi, hal yang tidak bisa dipungkiri adalah adanya agenda kebijakan; yaitu action dari stakeholder atau pihak yang berkepentingan untuk segera menyelesaikan gejolak persoalan dalam masyarakat. Media massa cetak dan elektronik seperti koran, tabloid, majalah, televisi, radio, bahkan portal media (internet) tidak akan ketinggalan menangkap hard news pada kondisi seperti ini. Hal serupa sebenarnya juga terjadi pada film, dimana film juga meresepsi isu dalam masyarakat yang akhirnya diangkat menjadi sebuah karya film. Namun sifat film yang delay dan memiliki karakter kuat pada setiap peran dalam cerita, membawa film pada package yang berbeda.

Film tidak saja menjadi hiburan yang penting tapi juga memiliki pesan sosial. Meskipun saat ini masih banyak film yang hanya mengandalkan adegan berunsur seksualitas, namun tidak jarang pula film Indonesia yang berkualitas dan memiliki pesan sosial tinggi. Produksi film Indonesia mengalami pasang surut dari tahun ke tahun.

Sejak krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 dan awal 1998, produksi film Indonesia mengalami penurunan. Namun sejak tahun 2002 industri film kembali bergeliat. Mulai tahun 2002 jumlah produksi film naik menjadi 9 buah atau naik 5 buah dari tahun sebelumnya. Angka produksi tersebut terus naik hingga pada tahun 2005 dan 2006 menjadi 33 buah. Kemudian pada tahun 2007 dan 2008 masih mengalami kenaikan masing-masing 53 buah dan 75 buah, (Data dan Informasi Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Bappenas, Depbudpar, 2009).

Film Indonesia mulai hidup lagi dengan adanya film Ada Apa Dengan Cinta. Dilanjutkan dengan Petualangan Sherina yang juga membuat masyarakat kembali antusias untuk menonton film Indonesia. Seiring perkembangan film Indonesia, seharusnya kebijakan untuk penambahan waktu eksibisi pada bioskop juga ditambah.

Ada hal krusial yang perlu kita cermati bersama. Sejak film pertama diproduksi di bumi pertiwi tahun 1926 – 19 tahun sebelum Indonesia merdeka – hingga tahun 2006 Indonesia tidak pernah memiliki industri film, (Effendy,2008:1). Hal ini karena sejak dulu Indonesia belum memiliki rantai industri film yang saling bersinergi. Diantaranya rantai produksi, rantai distribusi, dan rantai eksibisi.

Rantai eksibisi film meliputi semua pekerjaan, mulai dari pemilihan ide cerita hingga film selesai dibuat dan siap didistribusikan. Termasuk dalam rantai produksi adalah semua kru, perusahaan pembiayaan/ investor, rumah produksi, perusahaan penyewaan alat, dan post-production house. Rantai distribusi merupakan semua pekerjaan penyebarluasan film untuk dinikmati penonton di bioskop. Dalam rantai ini, perusahaan distribusi film atau distributor memainkan peran utama; menyalurkan film dari produsen ke jaringan bioskop, televisi, dan home video (DVD dan VCD). Sementara rantai eksibisi adalah semua pekerjaan menayangkan film di bioskop oleh jaringan bioskop.

Menjamurnya home video (VCD/DVD), rental VCD/DVD, mini teater, dan maraknya VCD/DVD bajakan (yang saat ini telah canggih dengan download via Bule Ray) dan bahkan tanpa sensor membuat usaha bioskop daerah mengalami penurunan omset. Jika harus dirumuskan persoalan yang paling mendesak dalam perfilman Indonesia adalah masih rendahnya tingkat produksi film cerita untuk bioskop. Sejak tahun 1993 jumlah produki film cerita mengalami terjun bebas hingga ke titik terendah pada 2000 hanya sekitar 3 judul per tahun, (Kurnia, Irawanto, Rahayu, 2004:11). Hal ini juga yang mengakibatkan banyak bioskop daerah akhirnya gulung tikar karena tidak ada distribusi film untuk diputar. Masih menurut Kurnia, Irawanto, dan Rahayu (2004:11), setidaknya ada tiga simpul masalah produksi film yang menyebabkan matinya bioskop daerah; dintaranya (1) sumberdaya manusia, (2) regulasi dalam produksi, (3) teknologi dalam perfilman.

Pada rentang waktu 1960-an sampai awal 1980-an, pemerintah sebenarnya telah membuat sejumlah kebijakan untuk perfilman nasional. Namun sampai undang-undang Perfilman No.33/2009 disahkan, kondisi perfilman nasional belum juga membaik.

Distribusi perfilman di Indonesia merujuk pada realitas bisnis yang menguasai tiga unsur dalam mata rantai bisnis film yang meliputi pengadaan film impor, distribusi atau pengedaran film dan eksibisinya di bioskop dimana praktek bisnisnya mengacu pada konsep integrasi vertikal, (Kurnia, Irawanto, Rahayu, 2004:95). Saat ini kelompok bioskop 21 Cineplex merupakan pelaku dominan distribusi film di Indonesia, terutama film impor. Faktanya, pengusaha bioskop di Indonesia harus menjaga keseimbangan komposisi film lokal dan impor yang diputar untuk mendapat penghasilan yang layak. Para produser film lokal pun hanya sedikit yang memutarkan filmnya di luar jaringan bioskop 21 Cineplex karena pertimbangan bioskop lain tidak akan banyak penonton. Selain maraknya VCD/DVD, pola distribusi film turut mempengaruhi hancurnya bioskop daerah di Indonesia. (eln)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Flickr

Subscribe