In

Industri Film Indonesia??

Film sebagai media komunikasi merupakan cermin dari realitas sosial. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat bisa menjadi pesan sosial yang terkandung dalam sebuah film. Meski pesan yang disampaikan bukan hanya pesan “terang”, namun juga sisi gelap kehidupan. Banyak hal yang bisa dipelajari dan mengambil inspirasi dari cerita sebuah film. Menurut Alfred Hitchcock (dalam Danesi,2002:107), meresepsi pesan dari sebuah film tidak hanya soal memahami pembicaraan secara dialogis; namun lebih dari itu. Stimuli yang terjadi pada setiap orang, akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Hal itu akan berpengaruh pada makna pesan yang akan sampai pada setiap audiens film (penerima pesan).

Pada dasarnya, masyarakat memiliki sebuah agenda (baca: agenda masyarakat); yaitu persoalan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan bersama dan segera perlu diselesaikan. Saat masyarakat bergejolak, isu ini akan ditangkap oleh media dan akan menjadi agenda media – atau hal yang dianggap penting untuk diblow-up media. Berbagai media massa akan menjadikan agenda masyarakat sebagai objek. Saat posisi seperti ini terjadi, hal yang tidak bisa dipungkiri adalah adanya agenda kebijakan; yaitu action dari stakeholder atau pihak yang berkepentingan untuk segera menyelesaikan gejolak persoalan dalam masyarakat. Media massa cetak dan elektronik seperti koran, tabloid, majalah, televisi, radio, bahkan portal media (internet) tidak akan ketinggalan menangkap hard news pada kondisi seperti ini. Hal serupa sebenarnya juga terjadi pada film, dimana film juga meresepsi isu dalam masyarakat yang akhirnya diangkat menjadi sebuah karya film. Namun sifat film yang delay dan memiliki karakter kuat pada setiap peran dalam cerita, membawa film pada package yang berbeda.

Film tidak saja menjadi hiburan yang penting tapi juga memiliki pesan sosial. Meskipun saat ini masih banyak film yang hanya mengandalkan adegan berunsur seksualitas, namun tidak jarang pula film Indonesia yang berkualitas dan memiliki pesan sosial tinggi. Produksi film Indonesia mengalami pasang surut dari tahun ke tahun.

Sejak krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 dan awal 1998, produksi film Indonesia mengalami penurunan. Namun sejak tahun 2002 industri film kembali bergeliat. Mulai tahun 2002 jumlah produksi film naik menjadi 9 buah atau naik 5 buah dari tahun sebelumnya. Angka produksi tersebut terus naik hingga pada tahun 2005 dan 2006 menjadi 33 buah. Kemudian pada tahun 2007 dan 2008 masih mengalami kenaikan masing-masing 53 buah dan 75 buah, (Data dan Informasi Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Bappenas, Depbudpar, 2009).

Film Indonesia mulai hidup lagi dengan adanya film Ada Apa Dengan Cinta. Dilanjutkan dengan Petualangan Sherina yang juga membuat masyarakat kembali antusias untuk menonton film Indonesia. Seiring perkembangan film Indonesia, seharusnya kebijakan untuk penambahan waktu eksibisi pada bioskop juga ditambah.

Ada hal krusial yang perlu kita cermati bersama. Sejak film pertama diproduksi di bumi pertiwi tahun 1926 – 19 tahun sebelum Indonesia merdeka – hingga tahun 2006 Indonesia tidak pernah memiliki industri film, (Effendy,2008:1). Hal ini karena sejak dulu Indonesia belum memiliki rantai industri film yang saling bersinergi. Diantaranya rantai produksi, rantai distribusi, dan rantai eksibisi.

Rantai eksibisi film meliputi semua pekerjaan, mulai dari pemilihan ide cerita hingga film selesai dibuat dan siap didistribusikan. Termasuk dalam rantai produksi adalah semua kru, perusahaan pembiayaan/ investor, rumah produksi, perusahaan penyewaan alat, dan post-production house. Rantai distribusi merupakan semua pekerjaan penyebarluasan film untuk dinikmati penonton di bioskop. Dalam rantai ini, perusahaan distribusi film atau distributor memainkan peran utama; menyalurkan film dari produsen ke jaringan bioskop, televisi, dan home video (DVD dan VCD). Sementara rantai eksibisi adalah semua pekerjaan menayangkan film di bioskop oleh jaringan bioskop.

Menjamurnya home video (VCD/DVD), rental VCD/DVD, mini teater, dan maraknya VCD/DVD bajakan (yang saat ini telah canggih dengan download via Bule Ray) dan bahkan tanpa sensor membuat usaha bioskop daerah mengalami penurunan omset. Jika harus dirumuskan persoalan yang paling mendesak dalam perfilman Indonesia adalah masih rendahnya tingkat produksi film cerita untuk bioskop. Sejak tahun 1993 jumlah produki film cerita mengalami terjun bebas hingga ke titik terendah pada 2000 hanya sekitar 3 judul per tahun, (Kurnia, Irawanto, Rahayu, 2004:11). Hal ini juga yang mengakibatkan banyak bioskop daerah akhirnya gulung tikar karena tidak ada distribusi film untuk diputar. Masih menurut Kurnia, Irawanto, dan Rahayu (2004:11), setidaknya ada tiga simpul masalah produksi film yang menyebabkan matinya bioskop daerah; dintaranya (1) sumberdaya manusia, (2) regulasi dalam produksi, (3) teknologi dalam perfilman.

Pada rentang waktu 1960-an sampai awal 1980-an, pemerintah sebenarnya telah membuat sejumlah kebijakan untuk perfilman nasional. Namun sampai undang-undang Perfilman No.33/2009 disahkan, kondisi perfilman nasional belum juga membaik.

Distribusi perfilman di Indonesia merujuk pada realitas bisnis yang menguasai tiga unsur dalam mata rantai bisnis film yang meliputi pengadaan film impor, distribusi atau pengedaran film dan eksibisinya di bioskop dimana praktek bisnisnya mengacu pada konsep integrasi vertikal, (Kurnia, Irawanto, Rahayu, 2004:95). Saat ini kelompok bioskop 21 Cineplex merupakan pelaku dominan distribusi film di Indonesia, terutama film impor. Faktanya, pengusaha bioskop di Indonesia harus menjaga keseimbangan komposisi film lokal dan impor yang diputar untuk mendapat penghasilan yang layak. Para produser film lokal pun hanya sedikit yang memutarkan filmnya di luar jaringan bioskop 21 Cineplex karena pertimbangan bioskop lain tidak akan banyak penonton. Selain maraknya VCD/DVD, pola distribusi film turut mempengaruhi hancurnya bioskop daerah di Indonesia. (eln)

Related Articles

0 komentar:

Flickr

Subscribe