In

PENERAPAN SIMBOL PADA MASYARAKAT TRADISIONAL DAN MODERN

Masyarakat adalah orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya (Soekanto,2004:171). Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat dalam kondisi apapun, baik yang menganut sistim tertutup ataupun terbuka, pasti mempunyai budaya yang mendukung kehidupan dalam kesehariannya. Karena pada dasarnya budaya adalah buatan manusia. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super-organic, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi hidup terus (Soekanto,2004:172). Dalam pengertian Herskovits ini jelas dapat dikatakan bahwa kebudayaan yang diturunkan dari generasi sebelumnya merupakan modal budaya untuk generasi penerus dalam ruang lingkup kebudyaan di masyarakat.

Dalam suatu masyarakat, modal budaya yang diturunkan kepada generasi penerus sangat kompleks. Itu karena mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, kemampuan-kemampuan, kebiasaan, dan berbagai hal lain yang mendukung terjadinya budaya. Tentu dalam suatu peradaban budaya, manusia mengenal tanda yang dituangkan dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan masyarakat akan suatu hal yang dibalik kebiasaan itu mempunyai makna tersendiri. Dalam tradisi komunikasi, dikenal istilah semiotik atau studi tentang tanda. “Tradisi semiotik termasuk sebuah teori besar tentang bagaimana tanda datang untuk menunjukkan obyek, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi diluar dirinya sendiri. Studi tentang simbol tidak hanya memberikan jalan dalam sebuah corak komunikasi tetapi juga mempunyai pengaruh yang kuat di hampir semua perspektif saat ini…” (Littlejohn,2005:35) termasuk dalam aspek budaya.

Simbol-simbol dalam masyarakat mencakup semua lapisan baik masyarakat desa maupun kota. Namun bisa dikatakan berbeda dalam penggunaannya. Dalam masyarakat desa, simbol bisa diartikan sebagai sarana penunjang komunikasi dan gaya hidup untuk masyarakat perkotaan (modern). Cara berfikir positifistik menyebabkan menyeruaknya kesadaran masyarakat modern yang terfragmentasikan dalam gaya hidup yang mekanistis (Narwaya,2006:51) jadi simbol yang ditunjukkan cenderung menunjukkan identitas perorangan atau kelompok. Mengingat tata hidup masyarakat modern berjalan dalam pola-pola yang dintingtif berjarak satu sama lain dengan tidak adanya kedalaman ‘makna’, yang berbanding terbalik dengan masyarakat desa yang masyarakatnya masih berupa kelompok sosial paguyuban (gemeinschaft).

Semua aspek kehidupan kebudayaan merupakan wacana untuk bisa dikembangkan dan dilestarikan. Seperti pendapat Teun A. van Dijk bahwa … wacana hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati (dalam Eriyanto,2006:221) mengingat tidak semua wacana mengenai berbagai hal seperti tersebut diatas mempunyai nilai dan dampak positif untuk masyarakat.

Literatur

Eriyanto, 2001, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKiS

Littlejohn, Sthephen W., 2005, Theories of Human Communication, USA, Wadsworth

Narwaya, St Tri Guntur, 2006, Matinya Ilmu Komunikasi, Yogyakarta, Resist Book

Soekanto, Soerjono, 2004, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait

satu sama lain.

Kita tidak bisa membayangkan

bahwa suatu ketika

‘pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ‘kekuasaan’

sebagaimana mustahil ‘pengetahuan’

tidak mengandung ‘kekuasaan’

(Michel Foucault)

Related Articles

0 komentar:

Flickr

Subscribe