In

Dianggap Miskin karena Bergaya Hidup Zero Waste

Sejak PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) ber-level-level ini, hampir semua orang full di rumah. Pekerjaan atau sekolah semuanya dari rumah. Banyak diantara kita yang akhirnya killing time dengan merawat tanaman, menjahit, bersepeda, baking, memasak, dan masih banyak lagi. Bekerja dari rumah, memaksa kita untuk lebih kreatif supaya tidak bosan. Bagaimana tidak, jika dulu kita berangkat bekerja ke kantor membutuhkan waktu untuk bermacet-macetan, atau bergencet-gencetan di Commuter Line saat ini tidak lagi. Ketika pagi menjelang kita sudah disibukkan dengan online meeting, mengurus sekolah anak yang juga online. Semua itu kita lakukan DI RUMAH SAJA. 

 

Waktu yang kita habiskan di rumah menjadi lebih banyak, menggantikan waktu berjam-jam untuk perjalanan pergi-pulang kantor atau pergi-pulang sekolah. Belum lagi jika pendapatan juga mulai berkurang, ini mendorong kreativitas untuk mencari sumber penghasilan yang lain. Salah seorang teman di masa PPKM ini bercerita jika dia mulai menerapkan gaya hidup Zero Waste (bebas sampah). Istilah ini sudah tidak asing untuk saya. Pernah beberapa kali membaca ulasannya dan berusaha untuk menerapkan juga, meskipun belum total. 

 

Di awal, dia sangat antusias bercerita tentang memilah sampah, pentingnya membawa kantong ketika berbelanja, mengurangi sampah kertas dan plastik, membawa bekal makanan sendiri, melakukan daur ulang, dan membuat kompos untuk sampah organik rumah tangga. Sepintas tidak ada yang baru, semua informasi itu sudah saya tahu. Namun ada yang menggelitik ketika dia bercerita soal pengolahan makanan ‘sampah’. “What? Sampah apaan nih?”. “Yo, kulit Pisang, kulit Semangka, kulit Wortel, kulit Singkong, bonggol Brokoli, akeh” jawabnya. “kui dipangan?” (itu dimakan?). “Iyo” jawabnya dengan santai. Masih belum percaya dengan yang ku dengar, dia menambahkan kalau ada tetangganya yang mengerti kebiasaan barunya mengolah makanan dari ‘sampah’ rumah tangga ini. Si tetangga lantas merasa kasihan dan mengirimi teman saya ini berbagai macam sayur dari ladangnya. “Tibakno aku dikiro mlarat” (ternyata aku dikira miskin) sambil tertawa dia mengakhiri ceritanya. Saya tidak kaget tetangga teman saya mengira demikian, karena dia tinggal di Kota Batu yang berbatasan dengan Kota Malang di Jawa Timur yang daerahnya sangat subur dengan komoditas pertanian buah dan sayur. 

 

Setelah menutup telepon, saya masih penasaran dengan yang dia ceritakan. Mengolah makanan dari ‘sampah’ rumah tangga?. Jari saya tidak sabar mencari sumber informasi lain  tentang Zero Waste, dan berhenti pada artikel berjudul Root to leaf and seed to skin, Cut waste and boost flavor with recipes that use the whole vegetable yang ditulis oleh Joe Yonan seorang Editor rubrik Food and Dining dari The Washington Post. Artikel tersebut menyampaikan pentingnya mengurangi limbah makanan, karena akan mengurangi emisi gas rumah kaca, memperlambat perusakan alam melalui konversi lahan dan polusi, meningkatkan ketersediaan makanan, mengurangi kelaparan, dan menghemat uang pada saat resesi global.

 

Semakin menarik, lalu gimana caranya? Yonan memberi tips tentang strategi mengurangi limbah makanan di rumah. Pertama, merencanakan menu yang akan dimasak sebelum berbelanja. Kedua, menyimpan makanan dengan benar untuk mencegah pembusukan. Awalnya ketika memasak, dia mengibaratkan seperti ada garis pemisah antara buah atau sayur yang akan dimakan dan bagian yang tidak dimakan atau disebut sampah (misalnya: kulit, batang, bijinya, atau daunnya). Garis itu cukup jelas, karena pilihannya adalah bagian yang bisa dimakan dan tidak bisa dimakan. Namun kemudian dia mulai memikirkan, bagaimana cara mengolah bagian ‘sampah’ ini supaya tetap bisa dimakan, sehingga garis pemisah itu semakin lama semakin kabur. Bagian sayur atau buah yang kita buang baik kulit atau bijinya, memiliki manfaat yang sama-sama besar untuk tubuh. Misalnya Wortel, kulitnya menyimpan cukup banyak nutrisi. Jika hanya menjadikan kulit Wortel untuk kompos, maka tidak akan mendapatkan manfaatnya bagi tubuh. 

 

Selain memperoleh manfaat untuk tubuh, mengolah makanan ‘sampah’ tampaknya juga sudah menjadi gaya hidup. Sebut saja Linda Ly penulis buku The No-Waste Vegetable Cookbook, dia membukukan resep makanan dan teknik mengolah makanan dari keseluruhan tanaman. Di Indonesia, kita mengenal Suzy Hutomo CEO The Body Shop Indonesia yang sangat aktif pada persoalan lingkungan sekaligus menjalankan sustainability food. Gimana? Kamu tertarik mencoba?. (Eln)

Related Articles

0 komentar:

Flickr

Subscribe